Hai. Tenang sekali ya. Sungguh tenang. Sangat tenang. Sedih, namun amat tenang. Anda tenang, kami tenang, semua memiliki ketenanganya masing-masing. Keterpakuan pada obyek-obyek yang nikmat untuk dikonsumsi menggunakan indera-indera perasa yang dimiliki oleh yang tercipta. Tusukan dari dua lingkar yang hitam luarnya dan putih dalamnya, juga empat lubang lain yang terus dan terus berputar dengan tenang meski rasa menderu, sanubari berkecamuk dan hati was-was, namun indera-indera itu seakan tidak peduli dan terus berputar mengikuti porosnya untuk terus merasa-merasa dan merasa. Indera yang kita miliki tiada akan pernah peduli dengan apa yang kita tidak mau dan selalu hindari, mereka akan denga sendirinya sesuai Kekuasaan berfungsi demi diri mereka sendiri dan tubuh yang tak mereka kenali. Seperti arus sungai yang terus mengalir meskipun gunung meletus atau gempa menggoncang, air-air itu akan tetap turun ke ruang atau dimensi manapun tempat dua atau lebih obyek akan bertemu, berinteraksi, atau sekedar saling menabrakan diri tanpa menunjukan reaksi satu sama lainya. Telinga-telinga keparat itu akan etap tenang di tempatnya bertengger. Tentang keterpakuan. Bukan karena menaruh perhatian. Coba bayangkan diri sedang berduduk-duduk di fakultas filsafat sebuah Universitas. Begitu tenang dan datar. Diri hanya ingin menenggak secangkir kopi yang tidak terlalu panas sambil mengisap sebatang rokok ringan, lalu menggaruk kepala perlahan dan menyaksikan kehampaan.... kedataran yang tidak lagi asing... begitu tenang dan asyik untuk diam dan hanya menatap apa yang lewat dan apa yang tak lewat di depan. Diam saja begitu enak rasanya. Datar. Kedataran yang benar-benar membetahkan. Sebenarnya tidak perlu terlalu banyak unsur nikmat di dalam sebuah kedataran yang membetahkan, kebetahan ketika terpaku pada suatu obyek itu tidak selalu nikmat. Kadang syakit, kadang gatal, kadang hangat, hangat yang rasa bersalahnya mengusik tatapan pada sebuah kedataran yang tetap saja membetahkan. Tidak berubah. Seperti indera perasa. Seperti gunung dan sungai. Seperti itulah sayang Caterpillar dalam melahirkan produk kemasan bebunyianya. Datar, sederhana, ketidaktahuan, ketidakpedulian, di dalam kamar, betah. Betah yang datar. Datar yang betah. Lembut. Seperti apa yang tidak bisa disepertikan apa.
Kami pun jadi ingat beberapa waktu yang lalu, sudah lama, SAKA, tentang kesederhanaan manis, kesuka-sukaan hangat, keharmonisan lembut dan keapikan karya yang begitu menyentuh dengan suatu visual dan audioing yang sering kita temui tekniknya di Hak Nam mana-mana namun isi di dalamnya sungguh menyentuh. Tidak berlebihan telinga-telinga keparat, kami tersentuh, kalian tidak, lalu kenapa, karena indera perasa tak akan peduli dan akan terus mengirim sinyal ke dalam diri yang banyak mau padahal lebih selalu tidak peduli. Tukang tabrak. Begitulah seperti yang juga dilakukan oleh Caterpillar dalam video "Pulang, Sudah Malam." adegan-adegan santai yang diawali dengan obrolan-obrolan yang juga santai di sebuah warung non-stop, yang juga biasa kami lakukan, untuk bersantai, berdua, bertiga, bereempat atau berlima, tetap tenang, santai, terpaku pada apa-apa yang akan dipaku, sesekali peduli atau tak peduli pada apa yang lewat dan tak lewat, yang penting kalau sudah malam segeralah pulang. Itu saja yang terpikirkan ketika mendengarkan rangkaian paket rilisan dari proyek Caterpillar ini. Sebuah kebiasaan, bukan melulu tentang perbuatan yang diulang-ulang, tapi sesuatu yang sangat biasa, namun membuat terpaku, sebuah kerelaan yang begitu saja diberikan pada sebuah obyek datar yang membuat betah. Betah bukan berarti selamanya, karena perpisahan itu selalu ada.... perpisahan itu memang menyedihkan kata teman kami. Dan ini saatnya kesedihan dengan iringan kedataran ini pitanya dipotong. Kami potong. Sampai sini saja. Berjalanlah, terpakulah, pada dataran lurus kosong. Kekosongan yang luar biasa membetahkan. Segera simpan. Jangan lupa ikhlaskan. Salam.
No comments:
Post a Comment